Jakarta –
Anggota Komisi IV DPR RI Suhardi Duka mempertanyakan angka tersebut impor garam yang relatif besar, mencapai 2,8 juta ton. Karena berdampak pada penyerapan devisa Indonesia.
“Terkait garam, bagaimana kita defisit, atau impor sangat besar 2,8 juta ton. Ini menyerap devisa ini,” ujarnya dalam RDP bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kamis (6/4/ 2023 ).
Merujuk data BPS, Indonesia mengimpor 2,8 juta ton garam pada 2021. Ia juga meminta KKP dan Kementerian Perindustrian berkoordinasi untuk menertibkan masuknya garam industri impor. Suhardi juga menekankan lemahnya perlindungan petani garam lokal.
IKLAN
GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN
“Perlindungan petani garam kita melemah. Pasar sudah diambil alih oleh garam industri, yang beralasan garam industri,” ujarnya.
Dalam rapat tersebut, Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan mempercepat teknologi garam rakyat untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas garam nasional. Untuk mengurangi jumlah garam impor.
Sebelumnya, Ketua Komisi IV DPR RI Sudi mengungkapkan biang keladi mengapa Indonesia masih bergantung pada garam impor. Menurutnya, permasalahan utama industri garam dalam negeri adalah mahalnya biaya logistik.
Sudin menjelaskan, produksi garam di Indonesia sendiri cukup bagus. Namun, karena mahalnya hambatan transportasi antar pulau, harga tidak bisa bersaing dengan garam impor yang lebih murah.
“Sebenarnya produksi garam di Indonesia cukup bagus, cukup bagus. Soalnya, satu angkutan saja mahal, jadi kalah dengan garam impor,” ujarnya tempo hari.
Sementara kebutuhan garam dalam negeri akan mencapai 4,4 juta ton pada 2022, tidak didukung oleh produksi dalam negeri yang hanya 863 ribu ton. Karena itu, dia meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan mengambil langkah dan strategi konkrit untuk mengatasi masalah tersebut, terutama pengurangan impor garam.
Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk menjelaskan tiga masalah yang menyebabkan Indonesia terus mengimpor garam.
“Pertama, luas lahannya kecil. Minimal bentangan lahan seribu hektare, tapi lahan kami rata-rata 2 hektare,” ujarnya di gedung Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jumat (5/8/2022). .
Kurangnya kapasitas lahan membuat petani sulit memenuhi kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan. Selain itu, biaya produksi juga relatif tinggi. Masalah kedua adalah kurangnya penggunaan teknologi di kalangan petani garam. Petani garam Indonesia masih mengandalkan cangkul untuk memproduksi garam. Ketiga, sektor transportasi juga menghambat proses produksi garam lokal.
(da/da)